Menelisik Cerita Dibalik Festival Bakar Tongkang di Riau

Berita Utama, Budaya65 Dilihat

KabarPekanbaru.com — Festival Bakar Tongkang merupakan salah satu tradisi budaya yang sangat penting bagi komunitas Tionghoa di Riau, Indonesia. Festival ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga merupakan representasi dari sejarah panjang dan evolusi budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Festival Bakar Tongkang adalah sebuah perayaan budaya yang diselenggarakan untuk menghormati kedatangan masyarakat Tionghoa ke Bagan Siapiapi pada tahun 1820.

Festival ini mencakup ritual pembakaran replika kapal besar sebagai simbol tradisi turun-temurun. Puncaknya terjadi saat tiang kapal jatuh, dianggap sebagai petunjuk untuk mencari rezeki. Sebelum kapal raksasa dengan berat 400 kg tersebut dibakar, kapal itu disimpan di kuil untuk diberkati yang selanjutnya akan dibawa mengelilingi Kota Bagan Siapiapi dengan diangkat (Kirab Sang Thi Kong).

Asal Usul Festival

Tradisi Bakar Tongkang memiliki akar sejarah yang mendalam dalam kebudayaan Tionghoa. Ritual ini berawal dari kepercayaan kuno bahwa tongkang, yaitu kapal kayu yang sering dipakai untuk mengangkut barang dan orang, adalah simbol dari perjalanan roh ke alam baka. Dalam konteks budaya Tionghoa, tongkang dianggap sebagai kendaraan yang membawa roh leluhur ke tempat peristirahatan akhir mereka. Oleh karena itu, membakar tongkang merupakan bentuk penghormatan dan doa agar perjalanan roh tersebut lancar dan aman.

Di Riau, tradisi ini dibawa oleh para imigran Tionghoa yang datang ke wilayah tersebut sejak abad ke-19. Para pedagang dan pelaut Tionghoa yang tiba di Riau membawa serta kebudayaan dan tradisi mereka, termasuk ritual Bakar Tongkang. Seiring dengan waktu, ritual ini mengalami penyesuaian dan adaptasi dengan kondisi lokal, menjadikannya sebuah festival yang khas di Riau.

Perkembangan Festival

Pada awalnya, Festival Bakar Tongkang dilaksanakan secara sederhana dan lebih fokus pada aspek spiritual dan religius. Seiring dengan perkembangan zaman dan meningkatnya populasi Tionghoa di Riau, festival ini mulai berkembang menjadi acara yang lebih besar dan lebih terstruktur.

Pada awal abad ke-20, festival ini mulai menarik perhatian masyarakat luas dan menjadi salah satu acara tahunan yang dinantikan. Dengan dukungan dari komunitas Tionghoa dan pemerintah lokal, Festival Bakar Tongkang mulai diorganisir dengan lebih baik dan melibatkan berbagai elemen budaya dan hiburan. Upacara yang dulu hanya dikenal oleh komunitas Tionghoa kini mulai dikenal oleh masyarakat umum, menarik wisatawan, dan mendapatkan perhatian media.

Perayaan dan Aktivitas

Festival Bakar Tongkang di Riau biasanya dilaksanakan pada bulan ketujuh kalender lunar Tionghoa, yang dikenal sebagai “Hari Bakar Tongkang.” Festival ini dimulai dengan berbagai persiapan, termasuk pembuatan tongkang dari kertas dan bambu yang dihias dengan ornamen tradisional. Selama beberapa hari sebelum hari pelaksanaan, berbagai kegiatan dilakukan, termasuk doa bersama, pembacaan mantra, dan persiapan upacara.

Pada hari pelaksanaan, tongkang yang telah dihias akan dibawa ke area terbuka, seringkali di dekat sungai atau laut, untuk dibakar. Pembakaran tongkang ini dilakukan dengan khidmat, diikuti dengan doa dan ritual oleh tokoh agama atau pemimpin komunitas. Selama festival, terdapat pula berbagai kegiatan hiburan, seperti pertunjukan musik, tarian, dan pameran budaya, yang melibatkan masyarakat luas.

Pengaruh Sosial dan Budaya

Festival Bakar Tongkang memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial dan budaya di Riau. Selain menjadi kesempatan untuk menghormati leluhur dan memperkuat ikatan komunitas, festival ini juga berfungsi sebagai ajang untuk memperkenalkan kebudayaan Tionghoa kepada masyarakat luas. Dengan meningkatnya perhatian terhadap festival ini, Riau menjadi salah satu pusat kebudayaan Tionghoa di Indonesia, dan festival ini turut berkontribusi pada promosi pariwisata lokal.

Festival Bakar Tongkang di Riau adalah contoh cemerlang dari bagaimana tradisi budaya dapat berkembang dan beradaptasi seiring waktu. Dari asal usulnya yang sederhana hingga menjadi festival yang meriah dan terkenal, festival ini mencerminkan kekayaan budaya Tionghoa dan kontribusinya terhadap keragaman budaya di Indonesia. Melalui festival ini, masyarakat Riau dan Indonesia dapat merayakan dan melestarikan warisan budaya yang berharga, sambil mempererat hubungan sosial dan meningkatkan pemahaman antarbudaya.

Tiap tahunnya Festival Bakar Tongkang ini diadakan, dimana masyarakat Tionghoa tumpah ruah ke jalan untuk mengikuti proses tradisi bakar tongkang di Bagansiapiapi. Api besar melalap kapal menandai puncak acara heboh dan meriah tersebut.

Bagansiapiapi adalah ibukota Kabupaten Rokan Hilir (Rohil). Dalam festival itu biasanya peserta berkumpul di Kelenteng In Kok Kiong yang berpusat di tengah kota.

Pada tahun 2019 lalu tradisi bakar tongkang diikuti 100 kelenteng yang ada di sana. Festival ini diikuti dari berbagai tingkatan usia. Mereka berbaris dari depan kelenteng hingga memanjang seratusan meter. Badan jalan sesak oleh warga Tionghoa yang melakukan ritual.

Setiap kelompok juga menenteng sejumlah peralatan ibadah yang mereka panggul. Berbagai hiasan alat Tiongkok meramaikan festival ini. Setelah memanjang sekitar 200 meter, barulah muncul tongkang alias kapal replika dengan panjang sekitar 8 meter lebar 2 meter. Kapal itu dihiasi tiang layar dengan kontruksi dari kayu. Dinding kapal tongkang ini hanya dilipasi kertas berwana warni.

Tongkang inilah yang dipinggul oleh sekelompok pria. Dari depan kelenteng tongkang ini diarak bersama-sama. Lebih dari 100 meter lagi warga mengiringinya dari belakang.

Mereka ini menuju ke lokasi tempat pembakaran tongkang yang mesti berjalan kaki sepanjang 2 km. Seluruh perserta membawa hio yang telah dibakar ujungnya. Bisa dibayangkan bagaimana sesaknya napas akibat asap Hio yang terus menyala sampai ke lokasi yang memakan waktu hampir 1 jam.

Tak hanya itu saja, mata juga rawan terkena debu hio sepanjang jalan. Namun demikian, seluruh perserta tetap hikmat mengikuti prosesi pembakaran tongkang ini.

Sepanjang jalan yang dilalui perserta, warga Tionghoa lainnya sudah menyedikan berbagai jenis minuman kaleng yang dingin. Minuman dibagikan secara gratis ke seluruh perserta yang jumlahnya ribuan orang. Berbagai sumbangan minuman di terima para perserta karena mereka berjalan di suasana yang cukup panas di bawah teriknya matahari.

Setelah berjalan beriiringan, akhirnya mereka sampai di lokasi dipercayai dulunya tempat awal kapal warga Tionghoa pertama kali mendarat dan dibakar bersama agar tidak kembali ke kampung halaman di Fujian, China.

Di lokasi tersebut, jutaan tumpukan kertas bertuliskan China sudah lebih dulu dikumpulkan. Di atas tumpukan kertas itulah, kapal tongkang replika yang diarak tadi diletakan. Sebelum dilakukan pembakaran, maka sejumlah pejabat pemerintah diundang ke atas.