KabarPekanbaru.com — Komisi III DPR RI didesak membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menindaklanjuti keputusun Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-X/2023.
Pasalnya, putusan tersebut menimbulkan kontroversi karena dinilai memberikan karpet merah kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres. Putra sulung Presiden Jokowi itu sekarang menjadi cawapres mendampingi capres dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto.
Demikian disampaikan anggota Komite Penyelamat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Senin (30/10).
“Mendorong DPR RI, khususnya komisi III, untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) atas kontroversi Putusan MK 90/PUU-X/2023,” kata Adi.
Menurut Adi dan rekan-rekannya, putusan MK itu mengkhianati akal sehat dan menabrak hukum di MK baik secara formil maupun materil. Persoalan formil terkait legal standing penggugat, yakni mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqib Birru.
Sementara, persoalan materiil berkaitan dengan MK yang tidak berwenang memutus materi perkara mengenai batas usia pejabat publik.
“Materi permohonan yang sebenarnya merupakan kewenangan dari pembentuk Undang-Undang yakni Pemerintah dan DPR,” tutur Adi.
Dia menilai, Ketua MK Anwar Usman telah melanggar Pasal 17 Ayat (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Anwar juga dinilai melanggar etik karena telah memutus perkara Nomor 90/PUU-X/2023 yang memuluskan jalan politik Gibran.
Adi mendesak, Anwar Usman dicopot dari kursi hakim MK sekaligus Ketua MK karena dinilai melanggar Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman an kode etik perilaku hakim konstitusi.
Ia juga mendorong Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bekerja dengan akal sehat dan hati nurani.
“Memutuskan secara imparsial, objektif dan independen demi mengembalikan martabat, kehormatan dan marwah MK sebagai benteng terakhir keadilan konstitusi,” ujarnya. Sebelumnya, melalui putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.
Itu selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum. Gugatan itu terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi.
“Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
Dimana setelah putusan ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.